Lima Alasan Gen Z Mampu Bertahan di Dunia Kerja
2. Gaya Komunikasi yang Berbeda Menyebabkan Perpecahan Antar Rekan Kerja
Gaya komunikasi Gen Z menjadi hal berikutnya. Maksudnya, pekerja Gen Z lebih menggunakan platform chat ketimbang email. Maka jangan kaget apabila mereka tidak memanfaatkan tulisan email kepada atasannya.
Hal ini terjadi dikarenakan Gen Z lebih menyukai komunikasi yang ringkas, langsung dan informal, menggunakan media sosial seperti Whatsapp dan lainnya.
Hal ini menjadi dasar dalam lingkungan kerja yang mobile atau jarak jauh, yang mana sebagian pekerja menghubungi rekan maupun atasannya melalui chat. Tidak menutup juga, Gen Z juga terbuka dengan komunikasi tatap muka melalui Google Meet ataupun Zoom.
Meskipun begitu, atasan perusahaan harus mempertanyakan maksud dan gaya komunikasi mereka yang seperti itu, tanpa harus menegur keras secara tidak profesional. Kapan perlu, beri mereka waktu yang cukup hingga terwujudnya rasa kedekatan dan persahabatan antara atasan dan pekerja Gen Z.
3. Kekosongan Umpan Balik Merupakan Penghalang Pertumbuhan
Satu hal lainnya yang perlu diketahui adalah, Gen Z sagat bergantung kepada feedback atau umpan balik. Hal ini didasarkan pada survei di 2018 lalu, yang menyebutkan bahwa pekerja Gen Z lebih menginginkan umpan balik lebih dari 65 persen.
Disinyalir, tanpa adanya umpan balik pekerja Gen Z merasa tidak terlibat dalam suatu pekerjaan yang sifatnya mandiri. Bahkan hal ini penting bagi mereka, untuk menumbuhkan soft skill, salah satunya kemampuan berorganisasi.
Tentu ini harus menjadi pekerjaan tersendiri bagi para atasan dan atasan perusahaan, yang harus membimbing mereka melalui tugas dan pekerjaan dengan sabar, begitupun apabila terjadi suatu kesalahan.
Selain itu, meskipun karyawan Gen Z memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk unggul, mereka mungkin tidak memiliki keterampilan lunak seperti kemampuan berorganisasi, misalnya. Atasan harus membimbing mereka melalui tugas dengan kesabaran, bahkan ketika terjadi kesalahan.
Ini juga berbuntut kepada terdapat perbedaan keahlian yang didapat sewaktu menempuh pendidikan di universitas, dan yang dibutuhkan pada dunia kerja. Argumen tersebut membuat para Gen Z yang baru terjun di dunia kerja, tidak siap dengan tugas dan jenis pekerjaan yang mereka lakukan, serta lingkungan kerja yang mereka alami kedepannya.
Solusi yang bisa dilakukan adalah Gen Z lebih sering bertanya sebanyak mungkin, apabila memulai kerja di hari pertama. Banyak pertanyaan yang bisa ditanyakan, mulai dari lingkungan kerja, dan karakter tim. Solusi ini merupakan bagian dari proses pembelajaran.
4. Nilai-nilai yang Tidak Selaras Menciptakan Konflik
Gen Z punya sejumlah nilai-nilai yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih memprioritaskan nilai inklusivitas, fleksibilitas dan pekerjaan yang berorientasikan tujuan.
Nilai-nilai yang terdapat pada Gen Z terkadang berbenturan dengan nilai pekerjaan tradisional yang mencakup hirarkis dan stabilitas. Tidak menutup kemungkinan, nilai tersebut bisa memicu konflik serta mempengaruhi produktivitas kerja.
Kendati demikian, nilai-nilai tersebut membuat Gen Z melakukan upaya konsisten untuk menyeimbangkan kehidupan kerja mereka. Kemungkinan besar, terdapat kurangnya fleksibilitas dari atasan dalam mengakomodasi kebutuhan mereka, hingga menyebabkan ketidakpuasan kerja.
Solusi permasalahan ii adalah menetapkan ekspektasi yang jelas di awal. Hal tersebut merupakan solusi efektif untuk menjembatani kesenjangan antar generasi.
Hal tersebut juga berbuntut kepada diberikannya pemahaman mengenai tanggung jawab dan hasil, serta didukung oleh kerjasama yang baik serta saling menghormati. Imbas dari hal itu perusahaan bisa memanfaatkan potensi suatu kelompok dengan lebih baik, tanpa harus mengasingkan Gen Z dalam lingkungan kerja.
5. Tempat Kerja Tidak Memenuhi Harapan Mereka
Perlu ditekankan, Gen Z mempunyai ekspektasi yang tinggi apabila memasuki dunia kerja, khususnya untuk bekerja dan kemajuan karir mereka. Pada akhirnya, mereka alam mengalami sejumlah hal pahit di dunia kerja, di antaranya PHK, hingga tidak nyamannya suatu pekerjaan yang dilakukan.
Suatu penelitian mengatakan 1 dari 4 pekerja Gen Z tidak merasakan bahagia di tempat kerjanya, dan 20 persen lebih mempertimbangkan berhenti.Survei McKinsey & Company pada tahun 2022, juga menunjukkan bahwa Gen Z lebih cenderung bekerja mandiri atau memiliki banyak pekerjaan, dibandingkan dengan rekan-rekan yang lebih tua.
Tentu dari permasalahan ini membuat atasan secara aktif mendengar tuntutan dari Gen Z serta menyesuaikan gaya manajemen, untuk mendukung lingkungan kerja yang baik dan mendukung. Hal tersebut berdampak kepada terciptanya peluang untuk pengembangan keterampilan dan pertumbuhan karir Gen Z. Bahkan untuk membuat mereka berkembang adalah dengan memberikan fleksibilitas.
Gen Z tumbuh kembang dalam lingkungan kerja yang positif dimana pekerjaan yang dilakukan mestinya diapresiasi, hingga lembur diberi kompensasi. Mereka justru mengharai transparansi dan kolaborasi sehingga atasan perusahaan memprioritaskan komunikasi terbuka serta melibatkan pekerja yang lebih muda, dalam mengambil keputusan.
Kesadaran emosional, gaya komunikasi, dan pendekatan yang berorientasi pada nilai dari Gen Z sedang membentuk kembali tempat kerja, tetapi sifat-sifat ini juga dapat menyebabkan kemunduran dan risiko PHK.
Mereka perlu menyeimbangkan kekuatan mereka dengan strategi untuk mengatasi tantangan, termasuk komunikasi adaptif dan mencari umpan balik. Dengan mendorong mereka untuk berkolaborasi dan membantu mengatasi tantangan di tempat kerja, para pemimpin dapat menciptakan lingkungan yang harmonis, produktif, serta menguntungkan.
Pada akhirnya, Gen Z dan atasan mereka perlu bertemu di tengah jalan. Daripada berfokus pada perbedaan mereka, keduanya perlu memperhatikan apa yang dapat mereka pelajari dari satu sama lain, karena keduanya menawarkan pelajaran berharga tentang seperti apa seharusnya tempat kerja modern.