Riset Menyebutkan, Hasrat Bunuh Diri Rentan Dilakukan oleh Remaja Laki-Laki
INFOREMAJA.ID - Kita tahu bahwa remaja merupakan kelompok umur yang rentan melakukan perilaku menyimpang. Remaja tidak lepas dari perilaku tersebut, sebut saja tawuran, perundungan, hingga bunuh diri.
Terkait dengan kasus bunuh diri remaja, perilaku ini perlu diwaspadai. Hal itu diungkapkan oleh Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Ayu Khoirotul Umaroh.
Ia mengatakan, bahwa perilaku bunuh diri tidak hanya kasus meninggal yang diakibatkan oleh bunuh diri. Ayu menjabarkan, bunuh diri pada remaja punya tiga tingkatan yang berbeda.
Yaitu ide untuk bunuh diri, rencana melakukan bunuh diri, hingga melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini berdasarkan riset yang ia lakukan pada responden dari 75 sekilah di Indonesia, terkait masalah kesehatan dan risiko perilaku remaja.
Dari responden yang terlibat mengatakan, terdapat beberapa faktor pengaruh remaja untuk melakukan hasrat bunuh diri. Di antaranya, perundungan, masalahn dengan orang lain, hingga dukungan orang tua.
Ayu juga mengungkapkan pada risetnya yang lain. Menurutnya, terdapat dua faktor yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hasrat bunuh diri, yaitu dukungan teman sebaya, serta dukungan orang tua.
Ia juga membandingkan kaitan dari faktor tersebut, kepada remaja perempuan dan laki-laki. Rupanya, hasil analisis yang dilakukan Ayu justru remaja laki-laki cenderung rentan bunuh diri, ketimbang remaja perempuan.
“Padahal kecurigaan awalnya ke perempuan, tapi hasilnya laki-laki,” sebutnya dalam keterangan resmi.
Analisis tersebut mengatakan, remaja laki-laki 4,23 kali lebih rentan untuk melakukan hasrat bunuh diri dibanding remaja perempuan, apabila tidak mendapat support dari teman sebayanya.
Remaja laki-laki juga 2,48 kali rentan apabila tidak menerima dukungan dari orang tua, serta 3,27 kali rentan apabila tidak terbuka kepada orang tua mereka.
Lebih dari itu, Ayu menilai bahwa hormon Testosteron menjadi pemicu remaja laki-laki untuk melakukan hasrat bunuh diri. Hal ini ia dapat usai membandingkan riset dari Tiffany Ho, peneliti University of California Los Angeles dan peneliti Texas State University, Billy C. Roland.
“Testosteron ini punya pengaruh yang kuat dari munculnya keinginan bunuh diri, sampai ke tindakan,” jelas Ayu.
Berikutnya adalah, anggapan masyarakat mengenai laki-laki. Artinya, laki-laki harus kuat dan tidak boleh menunjukkan kesepiannya di depan umum. Hal ini tentu berdampak kepada remaja, yang berimbas kepada sedikitnya lingkar pertemanan yang minim.
Tentu dengan kondisi itu, membuat remaja laki-laki tidak bisa membangun kedekatan emosional dengan baik. Bahkan mereka memendam perasaan di saat sedang atau setelah mengalami suatu masalah.
Tentu hal itu memunculkan hasrat remaja laki-laki untuk memiliki ide untuk bunuh diri. Dengan kata lain, mereka akan mencari jalan keluar dengan cara sendiri.
“Dipendam sendiri. Kayak nggak ada bestie-nya,” kata Ayu.
“Jalan keluarnya ini kan ada yang baik dan buruk. Kalau buruk bisa jadi muncul suicide ideation,” sambungnya.
Terkait dengan hal di atas, orang tua yang menyepelekan emosional anaknya, juga memicu remaja laki-laki untuk melakukan bunuh diri. Perilaku orang tua membuat anak tidak bisa mengungkapkan perasaannya, serta tidak memahami permasalahan yang dialami.
Harusnya, orang tua mesti melakukan pendekatan sekaligus mencari tahu mengenai permasalahan yang dialami anaknya. Orang tua juga harus memberikan dukungan yang diinginkan mereka.
“Kalau parental support-nya tidak ada, remaja laki-laki ini harus cerita ke mana?” tegas Ayu.
Tentunya, remaja khususnya laki-laki harus mendapat dukungan dari teman maupun orang tuanya. Hal ini harus dilakukan secara bertahap oleh orang terdekatnya, termasuk guru.
“Harus membudayakan hal baik dahulu. Tidak langsung menuntut remaja lain untuk men-support remaja lain,” kata dia.
Orang tua juga terbuka dengan perkembangan zaman sekarang, dan berupaya belajar dari apa yang diinginkan anaknya. Artinya, mereka harus memberikan respon baik jika anaknya alami masalah, bukan mengedepankan kehendak sendiri yang membuat remaja kehilangan jati diri dan arah hidup.
Kemudian, perlu adanya pembatasan stigma terhadap remaja laki-laki yang harus kuat dan tidak boleh menunjukkan kesedihan di depan umum. Apabila itu terus berjalan, maka upaya bunuh diri remaja akan terus berlanjut.
“Ada satu kejadian bunuh diri itu sudah suatu kegawatan,” tutup Ayu.