Ahli UGM Desak Pemerintah Hentikan Rekrutmen Kerja Lewat Jalur "Orang Dalam"
INFOREMAJA.ID - Untuk sekarang ini, Indonesia menghadapi fenomena Brain Drain, yaitu hijrahnya para kaum intelektual hingga cendekiawan yang memutuskan menetap di luar negeri.
Fenomena ini sejatinya sudah terjadi di Indonesia sejak lama. Hal itu diungkapkan oleh Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Hempri Suyatna, melalui keterangan resminya pada Kamis (23/1/2025) lalu.
Brain Drain mulanya terjadi pada tahun 1960an, yang ditandai dengan banyak mahasiswa Indonesia menempuh pendidikan di luar negeri, dan memutuskan bekerja di negara orang.
“Adanya fenomena ini terus terjadi saat ini dimana banyak tenaga-tenaga terampil dan profesional Indonesia yang memilih berkarir di luar negeri daripada di Indonesia,” sebut Hempri.
Menurutnya, banyak ribuan Warga Negara Indonesia yang memilih pindah ke Singapura selama tiga tahun berturut-turut.
Jelas hal ini menyebabkan, Indonesia terancam kehilangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan punya potensi. Selain itu, Singapura merupakan negara yang nyaman untuk membangun karir.
”Bisa dikatakan Singapura dianggap lebih baik sebagai tempat untuk berkarir dan mendapatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan,” kata Hempri.
Tentu dengan fenomena di atas, menyebabkan banyak SDM yang berusia produktif memilih pindah kewarganegaraan. Padahal, kelompok SDM tersebut masih dibutuhkan untuk menunjang pembangunan di Tanah Air.
“Selama ini anak-anak muda ini punya kemampuan potensial, kreativitas, dan inovasi yang lebih unggul. Hal ini tentunya sangat disayangkan ketika mereka harus pergi ke luar negeri," ujar Hempri.
"Indonesia tidak hanya kekurangan tenaga-tenaga terampil, tetapi ini dapat mengakibatkan munculnya ketimpangan ekonomi antar negara maupun lambatnya akselerasi pembangunan di Indonesia,” sambungnya.
Selain itu, ia membeberkan konsep link dan match antara pekerja dan perusahaan menjadi opsi untuk meminimalisir Brain Drain. Program ini sebetulnya sudah lama dikembangkan, khususnya pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim.
Menurut Hempri, model tersebut cukup menarik yang mana di satu sisi mahasiswa siap masuk ke dunia kerja, setelah lulus dari pendidikan. Namun di sisi lain, terdapat berbagai kendala di lapangan dari solusi tersebut.
“Misalnya soal pendampingan pasca kegiatan dan sebagian mahasiswa mengikuti program-program tersebut yang seringkali lebih berorientasi pada mendapatkan nilai sehingga hal-hal yang dipelajari selama pelaksanaan kegiatan kurang berkembang dengan optimal,” tuturnya.
Hempri turut mendesak pemerintah, untuk segera merancang grand design pembangunan kependidikan yang nantinya akan menjadi blue print, dalam penyusunan peta kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja. Hal ini berguna sesuai dengan keahlian yang dimiliki lulusan dari berbagai perguruan tinggi.
“Harapannya dengan adanya link and match antara pendidikan dengan pasar kerja diharapkan akan mampu meminimalkan anak-anak muda terampil untuk bekerja di luar negeri,” jelas Hempri.
Walaupun begitu, opsi tersebut dirasa tidak akan cukup mengingat kondisi pasar kerja di Indonesia itu dinamis.
Bahkan sejauh ini, proses rekrutmen pekerja masih mengandalkan sistem orang dalam, yang disinyalir membuat program tersebut akan menjadi sia-sia.
“Kita lihat kondisi ini yang seringkali masih dominan di kita sehingga orang yang memiliki kompetensi baik belum tentu diterima di pasar kerja,” tutup Hempri.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI mencatat, sejak tahun 2019 hingga 2022 terdapat 3.912 WNI yang pindah kewarganegaraan ke Singapura. WNI yang pindah ke negara tersebut berada di kelompok usia produktif, yaitu 25-35 tahun.
Sebaliknya, laporan dari The Global Economy terkait human flights dan brain index di tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat 88 dari 175 negara untuk sekarang ini.